Jangan menolak kebenaran
Kebenaran mutlak datang hanya dari Allah سبحانه وتعالى . Oleh karena itu, al-haq tidak diambil kecuali dengan petunjuk kitab Allah سبحانه وتعالى dan Sunnah Rasul ﷺ . Dan sepantasnya orang-orang yang sudah menerima alhaq, hendaknya mereka menerima dan mengikutinya.
Allah سبحانه وتعالى telah memuji orang-orang yang beriman karena mereka mengkuti al-haq dalam firmannya:
﴿أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ﴾
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (Qs a-Ra’d/13:19)
Imam Ibnu Katsîr رحمه الله berkata tentang makna ayat ini: “Maka tidaklah sama orang yang meyakini kebenaran yang engkau bawa –wahai Muhammad ﷺ – dengan orang yang buta, yang tidak mengetahui dan memahami kebaikan. Seandainya memahami, dia tidak mematuhinya, tidak mempercayainya, dan tidak mengikutinya.”1
Namun, umumnya manusia tidak peduli terhadap kebenaran, tidak mau mencarinya, dan tidak menelitinya. Sehingga mereka berkubang di dalam kesesatan dengan sadar atau tanpa sadar. Allah سبحانه وتعالى berfirman, yang artinya: Apakah mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (al-Qur`ân) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku.” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling. (Qs al-Anbiyâ’/21:24)
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di t berkata: “Mereka tidak mengetahui kebenaran bukan karena kebenaran itu samar dan tidak jelas. Namun karena mereka berpaling darinya. Jika mereka tidak berpaling dan mau memperhatikannya, niscaya kebenaran menjadi jelas bagi mereka dari kebatilan, dengan kejelasan yang nyata dan gamblang.”2
Oleh karena itu, jangan sekali-kali seorang Muslim menolak kebenaran. Siapa pun pembawanya. Karena menolak kebenaran itu merupakan sifat kesombongan yang dibenci oleh Allah سبحانه وتعالى . Nabi ﷺ bersabda:
لَايَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang lakilaki bertanya: “Ada seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?) Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim, no. 2749, dari `Abdullâh bin Mas’ûd رضي الله عنه )
Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Adapun ‘menolak kebenaran’ yaitu menolaknya dan mengingkarinya dengan menganggap dirinya tinggi dan besar”.3
Imam Ibnul Atsîr رحمه الله berkata tentang makna ‘menolak kebenaran’, yaitu menyatakan batil terhadap perkara yang telah Allah سبحانه وتعالى tetapkan sebagai kebenaran, seperti mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Ada yang mengatakan, maknanya adalah menzhalimi kebenaran, yaitu tidak menganggapnya sebagai kebenaran. Dan ada yang mengatakan, maknanya adalah merasa besar terhadap kebenaran, yaitu tidak menerimanya.” 4
Seorang Muslim jangan menyerupai orang-orang Yahudi. Mereka mengetahui kebenaran, namun tidak mengikutinya. Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang orangorang Yahudi Madinah yang enggan beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ :
﴿وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ﴾
Dan setelah datang kepada mereka (orang-orang Yahudi) al-Qur‘ân dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (Qs al-Baqarah/2:89)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Allah سبحانه وتعالى menyifati orang-orang Yahudi bahwa mereka dahulu mengetahui kebenaran sebelum munculnya Nabi ﷺ yang berbicara dengan kebenaran dan mendakwahkannya. Namun, setelah Nabi ﷺ datang kepada mereka, beliau berbicara dengan kebenaran. Karena beliau bukan dari kelompok yang mereka sukai, maka mereka pun tidak tunduk kepada beliau, dan mereka tidak menerima kebenaran kecuali dari kelompok mereka. Padahal, mereka tidak mengikuti perkara yang diwajibkan oleh keyakinan mereka.”5
Inilah di antara sifat-sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali dari kelompok mereka saja. Rupanya, sifat seperti ini menjalar di kalangan ahli bid’ah dulu dan sekarang, mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali dari kelompoknya saja, atau buku-bukunya saja, atau guru-gurunya saja. Wallâhul Musta’ân.
Sesungguhnya kebenaran itu tetap diterima walau pun datangnya dari orang kafir. Nabi ﷺ telah mencontohkan hal ini di dalam beberapa hadits beliau. Antara lain hadits berikut ini.‘Aisyah x berkata:
دَخَلَتْ عَلَيَّ عَجُوْزَانِ مِنْ عُجُزِ يَهُوْدِ المَدِيْنَةِ فَقَالَتَا لِيْ إِنَّ أَهْلَ الْقُبُوْرِ يُعَذَّبُونَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ فَكَذَّبْتُهُمَا وَلَمْ أُنْعِمْ أَنْ أُصَدِّقَهُمَا فَخَرَجَتَا وَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ ﷺ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَجُوزَيْنِ وَذَكَرْتُ لَهُ فَقَالَ صَدَقَتَا إِنَّهُمْ يُعَذَّبُونَ عَذَابًا تَسْمَعُهُ الْبَهَائِمُ كُلُّهَا فَمَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ فِيْ صَلَاةٍ إِلَّا تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Dua nenek Yahudi Madinah masuk menemuiku, keduanya mengatakan kepadaku: “Sesungguhnya orang-orang yang berada di dalam kubur disiksa di dalam kubur mereka”. Aku mendustakan keduanya, aku tidak senang membenarkan keduanya. Lalu keduanya keluar. Nabi datang masuk menemuiku, maka aku berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah ﷺ , sesungguhnya dua nenek…”, aku menyebutkan kepada beliau. Beliau bersabda: “Keduanya benar. Sesungguhnya mereka disiksa dengan siksaan yang didengar oleh binatang-binatang semuanya”. Kemudian tidaklah aku melihat beliau di dalam shalat setelah itu, kecuali beliau berlindung dari siksa kubur.” (HR. Bukhâri, no. 6366; Muslim, no. 586)
Lihatlah, bagaimana Rasulullah ﷺ membenarkan dan menerima perkataan dua nenek Yahudi tentang adanya siksa kubur. Bahkan, kemudian beliau ﷺ berlindung dari siksa kubur di dalam shalatnya setelah itu. Maka bandingkanlah dengan sebagian orang Islam di zaman ini, ketika telah disampaikan kepadanya tentang suatu permasalahan yang benar berdasarkan ayat al-Qur’ân, hadits yang shahîh, dan penjelasan para Ulama. Mereka tidak menerimanya hanya karena orang yang menyampaikan berbeda madzhabnya, organisasinya, tempat mengajinya, kebiasaan masyarakatnya, atau semacamnya.
Di dalam suatu kejadian yang lain, Nabi ﷺ tidak mengingkari perkataan yang benar dari orang-orang Yahudi. Bahkan beliau meluruskan amalan umat dari sebab peringatan yang disampaikan oleh seorang Yahudi! Sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عَنْ قُتَيْلَةَ امْرَأَةٍ مِنْ جُهَيْنَةَ أَنَّ يَهُوْدِيًّا أَتَى النَّبِيَّ ص فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُوْنَ تَقُولُونَ مَاشَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُوْلُوْنَ والْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ ص إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُوْلُوْنَ مَاشَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
Dari Qutailah, seorang wanita dari suku Juhainah, bahwa seorang laki-laki Yahudi mendatangi Nabi ﷺ lalu berkata: “Sesungguhnya kamu menjadikan tandingan (bagi Allah). Sesungguhnya kamu menyekutukan (Allah). Kamu mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki’. Kamu juga mengatakan ‘Demi Ka’bah’. Maka Nabi memerintahkan kaum Muslimin, jika menghendaki sumpah untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’. Dan agar mereka mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki kemudian apa yang engkau kehendaki’. (HR. Nasâi, no. 3773; dishahîhkan oleh al-Albâni)
Ketika menjelaskan faedah-faedah dari hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn رحمه الله berkata:
“Pertama: Nabi ﷺ tidak mengingkari orang Yahudi tersebut, padahal yang nampak dari niat orang Yahudi itu adalah mencela Nabi ﷺ dan para Sahabat beliau. Karena yang dia katakan memang benar.
Kedua: Disyari’atkan kembali menuju kebenaran walaupun yang mengingatkan hal itu adalah bukan pengikut kebenaran.
Ketiga: Sepantasnya ketika merubah sesuatu hendaknya merubahnya kepada sesuatu yang dekat dengannya.
Karena Nabi ﷺ memerintahkan untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’, dan beliau tidak mengatakan ‘Bersumpahlah dengan nama Allah سبحانه وتعالى ‘. Dan beliau memerintahkan mereka agar mengatakan ‘Apa yang Allah سبحانه وتعالى kehendaki, kemudian apa yang engkau kehendaki’”.
Setelah penjelasan ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimînt menyampaikan suatu masalah dan jawabannya. Yaitu jika ditanya: “Kenapa tidak ada yang mengingatkan (kesalahan) perbuatan ini kecuali seorang Yahudi?” Jawabannya adalah: “Kemungkinan Rasulullah ﷺ tidak mendengarnya dan tidak mengetahuinya.” Jika ditanya lagi, “Allah Maha mengetahui, kenapa mendiamkan mereka?”, maka dijawab: “Sesungguhnya itu adalah syirik ashghar (kecil), bukan syirik akbar (besar). Hikmahnya adalah ujian bagi orang-orang Yahudi. Mereka mengkritik umat Islam atas kata tersebut, padahal mereka menyekutukan Allah سبحانه وتعالى dengan syirik yang besar, namun mereka tidak melihat aib mereka.”6
Bahkan sesungguhnya menolak kebenaran itu merupakan sifat orang-orang kafir. Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu -hafizhahullâh- berkata: “Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah mengutus para Rasul kepada manusia, dan memerintahkan mereka dengan dakwah untuk beribadah kepada Allah سبحانه وتعالى dan mentauhidkan-Nya. Namun mayoritas umat mendustakan para rasul. Mereka menolak al-haq yang telah diserukan kepada mereka., yaitu tauhid. Maka akibatnya adalah kehancuran.”7
Syaikh juga mengatakan: “Oleh karena ini, wajib menerima al-haq dari siapa saja, bahkan walaupun dari setan.”8 Kemudian Syaikh membawakan hadits shahîh seperti di bawah ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ -رضي اللَّهُ عنه- قَالَ وَكَّلَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنْ الطَّعامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَاْ آيَةَ الْكُرْسيِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنْ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم – صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه , dia berkata: “Rasulullah ﷺ mewakilkan aku untuk menjaga zakat Ramadhan. Kemudian ada seorang yang mendatangiku lalu mengambil makanan dengan tangannya. Maka aku menangkapnya, dan kukatakan: “Aku benar-benar akan membawamu kepada Rasulullah …kemudian dia menyebutkan hadits itu…lalu pencuri itu berkata: “Jika engkau pergi ke tempat tidurmu bacalah ayat kursi, akan selalu ada seorang penjaga dari Allah atasmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai waktu subuh”. Kemudian Nabi bersabda: “Dia (pencuri itu) telah berkata benar kepadamu (hai Abu Hurairah), namun dia itu sangat pendusta, dia adalah setan.” 9
Kesimpulannya adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu – hafizhahullâh- : “Berdasarkan ini, seorang Mukmin tidak boleh menolak kebenaran dan nasehat sehingga tidak menyerupai orang-orang kafir, dan sehingga tidak terjerumus di dalam kesombongan yang akan menghalangi pelakunya untuk memasuki surga. Hikmah adalah barang hilang seorang Mukmin, di mana saja dia menemuinya, dia mengambilnya.”10
__________________________________________________________
1 Tafsir al-Qur’ânil ‘Azhîm, surat . ar-Ra’du/13: 19
2 Tafsir Taisîr Karîmir Rahmân, surat al-Anbiyâ’/21:24
3 Syarah Muslim, hadits no. 2749
4 An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts
5 Iqtidhâ’ Shirâthil Mustaqîm, hlm. 14; syarah Syaikh al-’Utsaimîn; Penerbit. Dâr Ibni Haitsâm; Kairo; takhrîj: Fathi Shâlih Taufîq
6 Al-Qaulul Mufîd, hlm. 522-523; Penerbit Abu Bakar ash-Shiddîq, Mesir, cet. 1, th. 2007 M / 1428 H; tahqîq: Muhammad Sayyid ‘Abdur Rabbir Rasul
7 Minhajul-Firqah an-Nâjiyah, hlm.140
8 Minhajul-Firqah an-Nâjiyah, hlm.140
9 HR. Bukhâri, no. 2311, 3275, dengan mu’allaq, namun disambungkan oleh Abu Bakar al-Ismâ’ili dan Abu Nu’aim, sebagaimana disebutkan di dalam Hadyus sâri, hlm. 42 dan Fathul Bâri 4/488. Lihat penjelasan lengkap di dalam Fathul Mannân, hlm. 458- 460, karya Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân
10 Minhajul-Firqah an-Nâjiyah, hlm.140
Majalah As-Sunnah
EDISI 05/THN. XIII/SYA’BAN 1430H/AGUSTUS 2009M
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/jangan-menolak-kebenaran/